PERJALANAN yang telah usai selalu menanggalkan kepenatan. Yang tersisa hanyalah kerinduan dan kenangan indah nan tak tercerai zaman. Kerinduan terhadap kawan seperjalanan, kepada mereka yang dijumpai, tentang alam dan budaya yang ditemukan dalam pelintasan.
Itulah yang terbawa pulang saat pesawat berbaling-baling tunggal maskapai Susi Air lepas landas dari Bandara Nabire, Papua. Pesawat mungil Cessna Grand Caravan penampung 12 penumpang itu membubung, meninggalkan Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC) yang semakin jauh di belakang.
Kulit yang tak terang pun semakin legam, ”buah tangan” yang Kompas bawa dari berlayar selama tujuh hari, menyusuri lepas pantai Teluk Cendrawasih. Semua itu bermula dari ajakan Dewi Satriani, Manajer Komunikasi Kelautan dan Spesies Kelautan WWF Indonesia. ”Gue mau jalan, bikin film potensi wisata di Teluk Cendrawasih. Lu mau ikut enggak?” tanya sarjana komunikasi lulusan UI yang sudah sejak 20 tahun silam punya hobi menyelam tersebut.
Mengapa harus ditolak? Apalagi dalam agenda tercantum kegiatan pemantauan lokasi pemijahan ikan-ikan karang dan pengambilan footage (petikan film) hiu paus. Tak usah dibaca saksama. Makna sederhana semua aktivitas itu adalah menyelam. Tidak setiap saat kita bisa menyelam di lokasi eksotis yang bukan dive spot wisata, bukan? Menggiurkan.
Gurano bintang
Hari keenam pelayaran. Kapal lunas ganda Tuturuga sudah membawa kami sejauh hampir 400 kilometer. Jika mengingatnya, kapal bercat putih milik WWF Indonesia dengan panjang geladak 12 meter itu selalu menerbitkan senyum. Inilah kapal dengan nama kura-kura (tuturuga bermakna penyu atau kura-kura laut), tetapi bergambar panda di lambungnya. Tuturuga punya dua mesin berkekuatan 500 tenaga kuda. Betapa banyak ”satwa” di kapal sekecil itu.
Namun, sedang tidak ada senyum di bibir banyak penumpang Tuturuga. Sudah sekian lama kami berlayar, sudah hampir 20 perahu bagan penjaring ikan puri (teri) yang kami sambangi, tak seorang nelayan pun yang mengaku melihat gurano bintang hari itu. ”Hari ini tidak ada,” kata salah satu nelayan bagan, menjawab pertanyaan Casandra ”Cassie” Tania, si peneliti dari WWF Indonesia yang berkantor di Wasior, Papua Barat.
”Anak” Jakarta yang sudah dua tahun bekerja di Teluk Cendrawasih ini memang jadi andalan tim Tuturuga untuk berkomunikasi dengan warga atau nelayan lokal. Wajar diandalkan. Cassie hapal arah kampung, pulau, atau tanjung kecil di TNTC.
Ah, gurano bintang. Nama yang cantik. Nama dari bahasa Papua itu terdengar jauh lebih indah dari terjemahan Indonesia untuk whale shark, hiu paus (Rhincodon typus). Inilah spesies ikan terbesar di bumi dan banyak dijumpai di TNTC. Panjang gurano bintang mencapai 12 meter.
KOMPAS/YUNAS SANTHANI AZIS Meski bersifat selalu bermigrasi, gurano bintang diduga selalu hadir di Teluk Cendrawasih, Papua.
Hiu kelewat bongsor tak bergigi pemakan kril dan teri inilah yang jadi puncak ”atraksi” perjalanan kami. Kini, harapan tinggal tertuju pada satu perahu bagan tersisa, di lepas pantai resor kecil Kalilemon yang terletak di sisi timur Tanjung Mangguar.
Hari sudah sore saat kami tiba di perahu bagan tersebut. Tiga perahu lain telah lebih dulu merapat, membawa belasan turis lokal. Ada dua gurano bintang berenang di sekitar bagan. Senyum kembali mengembang meski menguncup tak lama kemudian.
Penyebabnya, para turis yang ”pendahulu” itu rupanya tak menyadari aturan main ekoturisme yang begitu panjang lebar dipaparkan Cassie kepada kami. ”Tidak boleh memotret gurano bintang dengan lampu kilat, tidak boleh memegangnya, selalu jaga jarak paling dekat sekitar 3 meter,” kata Cassie, master biologi kelautan lulusan Eropa berumur 27 tahun yang selalu ringan tangan dan ringan senyum itu.
Semua hal yang sebaliknyalah yang dilakukan para turis. Ikan yang liar tersebut menjadi ”hewan peliharaan” dalam beberapa puluh menit: diusap-usap, ”dipanggil” dengan menepuk-nepuk air, disirami kilatan lampu blitz kamera. Sayang.
Rekan seperjalanan, Panji Laksmana, yang semula sigap memakai baju selamnya kehilangan selera. Salah satu dari hanya segelintir juru kamera bawah air profesional yang dimiliki Indonesia itu langsung tepekur di tepi haluan Tuturuga, menjuntaikan kaki.
Karena tak terlalu ”sukses” di sore itu, keesokan pagi kami kembali. Hanya kami. Seekor gurano bintang masih datang ke sekitar bagan. Kami, tim Tuturuga, pun berloncatan ke dalam air. Laut yang kedalaman dasarnya sekitar 80 meter itu tak terasa mencekam meski gelap, kalah oleh liukan anggun tubuh si ikan tambun yang dilihat begitu sedap.
Alam dan kampung
Sesungguhnya, tak cuma gurano bintang yang dapat menjadi ”jualan” ekowisata TNTC. Pada hari kedua pelayaran, kami mampir di Pulau Purup, pulau kecil yang menjadi ulayat penduduk Yomakan, kampung berpenduduk 300 jiwa yang ada di Pulau Rumberpon, Papua Barat.
Di pulau itu, terdapat laguna, sebuah danau yang memperoleh air asinnya lewat terowongan alam yang terhubung ke laut lepas. Laguna itu belum menjadi daerah tujuan wisata. Sekeliling danau masih berupa hutan semak belukar yang tumbuh di atas lantai pulau, berupa tanah tipis di atas bebatuan karang yang permukaannya runcing-runcing tajam.
Sayang, sebagian besar terumbu karang di laguna tersebut mati, banyak yang patah. Namun, ikan-ikan karang kecil aneka warna masih banyak bermain di sela-selanya. Satu hal yang paling menyenangkan adalah pada saat air sedang pasang surut di pagi hari. Kita bisa meluncur sambil menahan napas belasan detik, membiarkan arus mendorong kita memasuki terowongan air untuk keluar dari laguna, lalu timbul di laut lepas.
Pada hari itu pula Kompas merapat ke petak pantai berpasir putih di bagian lain Pulau Purup. Pesisir Pulau Papua yang ada di Teluk Cendrawasih, juga di banyak pulau-pulau kecilnya, tak banyak memiliki pantai yang landai berpasir putih. Di pantai pulau tak berpenghuni itulah sejumlah warga Yomakan mencari nafkah dengan mengumpulkan dan mengeringkan teripang.
Para lelaki kampung Yomakan adalah orang-orang yang bisa membuat iri eksekutif muda Jakarta yang rajin ke pusat kebugaran. Tubuh mereka ramping dengan bahu yang bidang. Otot-otot mereka kencang dengan wajah tampan yang dibingkai garis tulang rahang dan hidung yang tegas. Tak heran, para lelaki Yomakan mampu mengambil teripang di dasar laut dangkal seputar pulau dengan hanya bermodalkan kacamata renang.
Aktivitas para peramu dan bentang pulau hijau yang dikelilingi laut biru itu segera menjadi sasaran kerja dua anggota tim Tuturuga, Dissy Pramudita dan Bambang ”Coki” Hari. Dalam perjalanan ini, keduanya memang selalu menjadi darling of court, pusat perhatian warga, entah di kampung kecil seperti Yomakan dan Kwatisore, ataupun di Yende, kampung terbesar di TNTC.
Tanah Hijau Diapit Langit dan Laut Biru.
Dissy adalah juru kamera aerial yang menggunakan kamera mini yang dikaitkan di helikopter empat baling-baling mini berpengendali jarak jauh. Dissy yang sekaligus menjadi ”pilot” quadchopper dan Coki yang teknisi pendukung memang cocok sebagai tim kecil. Mereka sama-sama teliti, cermat, dan perfeksionis.
Satu-satunya ”kekurangan” Coki yang sarjana manajemen transportasi udara mungkin cuma suka protes jika ada yang tak bisa membedakan antara teknisi pesawat terbang dan kru
ground handling bandara.
Yang jelas, dari bidikan kamera merekalah tim bisa melihat dengan jelas betapa tipisnya kampung Yende yang indah. Kampung di Pulau Roon itu hanya punya lebar tanah datar sekitar 50 meter dari bibir pantai. Selebihnya adalah perbukitan yang merabung.
Dari foto udara, gereja tua Yende yang dibangun pada 1884 terlihat lebih anggun. Yende memang merupakan salah satu lokasi awal penyebaran agama Kristen di kawasan Teluk Cendrawasih. Di gereja itu masih tersimpan alkitab tua cetakan 1898.
Begitu roda pesawat Cessna Grand Caravan menjejak Bandara Frans Kaisiepo, Biak, gereja tua Yende, Pulau Purup, gurano bintang, dan Tuturuga telah menjadi kenangan. Beruntung, para kawan seperjalanan, seperti Panji, Dissy, dan Coki, telah membuatnya abadi lewat rekaman film digital. Rekaman yang bisa mengobati kerinduan.